Senja
Senja
Oleh
: Susana Widuri
Sore
ini, segelas teh hitam bersama sepiring kudapan menemaninya bersantai di
beranda. Tak ada yang dia lakukan selain menatap mentari yang berpendar
kemerahan di telan senja. Sesenja usianya yang kini sudah lebih dari setengah
abad. Hembusan nafas yang tenang dia keluarkan secara perlahan. Sungguh, tiada
lagi beban hidup yang harus dipikulnya kini. Semasa muda, dua pertiga usianya
habis ditelan euphoria merawat sang
malaikat-malaikat kecil yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Rupanya, kini
malaikat-malaikat kecil itu sudah tumbuh besar dan berjuang meraih asa yang
selalu diucapkan mereka saat masih kecil dulu. Giliran merekalah yang akhirnya
harus menghidupi dirinya kini. Dia tersenyum sekilas ketika memoar tentang
malaikat-malaikatnya yang kini berhasil meraih asanya menari-nari dalam
ingatannya. Rasa bangga dan terharunya sebagai orang tua, tak luput ditelan
zaman walaupun kini rambut kelamnya telah beruban. Bersamaan dengan hal itu, anak-anak manusia terlihat
berbondong-bondong berlarian saling kejar sambil membawa sebatang bambu pendek
yang di atasnya disumpal kain lebih kurang seukuran dua hasta. Untuk sekilas
saja bau minyak tanah menguar ketika anak-anak itu pergi melintasi depan
rumahnya. Obor. Dia tersenyum ketika menyadarinya. Lagi. Memoar tentang
malaikat-malaikatnya menguar di otaknya. Pun mereka dulu seperti itu, berlarian
dengan riang menyambut satu Muharram dengan melakukan pawai obor sambil
bersenandung shalawat.
"Bu,
sudah sore. Anginnya sudah mulai dingin. Tak baik untuk kesehatan ibu. Lebih
baik ibu segera masuk ke dalam"
ucap seseorang yang kini berhasil menghentikan aktivitasnya memandang mentari
senja seraya mengenang memoar-memoar indahnya. Dia menoleh, tersenyum. Senang
masih ada yang memperhatikan, walaupun bukan malaikat-malaikat kecilnya
melainkan sang perawat.
"Iya" sahutnya. Kemudian susah payah
berusaha bangkit dari kursi santainya dengan dibantu perawatnya. Tulangnya kini
tak setegak dulu, sudah mulai membungkuk sehingga memerlukan tongkat hanya
sekedar untuk menopang tubuhnya dan membantunya berjalan.
Wanita
tua renta itupun duduk kembali di kursi dalam rumahnya, kembali
mengistirahatkan kakinya yang kini mudah lelah walau hanya berjalan sebentar.
Kini, kakinya tak setangguh dulu yang mampu berjalan bermil-mil hanya untuk
memenuhi kebutuhan malaikat-malaikatnya, juga kakinya tak sekuat dulu yang
mampu berdiri berjam-jam hanya untuk menenangkan malaikat-malaikatnya yang
menangis berderai air mata karena satu keinginan yang tak terkabul. Sungguh,
kini kaki-kaki itu tak setangguh dan tak sekuat dulu. Baginya, itu bukanlah
suatu persoalan. Apapun keadaannya kini, dia merasa puas dengan apa yang telah
dicapai malaikat-malaikatnya berkat kaki tangguh dan kaki kuatnya.
"Bu
makan dulu. Saya sudah buatkan makanan kesukaan ibu" ucap sang perawat. Wanita tua itu
mengangguk hingga sang perawat menyuapinya dengan makanan kesukaannya. Sayur
tahu. Sebenarnya bukan tanpa alasan wanita tua itu menyukai apa yang sekarang
jadi makanan favoritnya. Giginya telah banyak tanggal. Hanya satu-dua yang
tersisa dalam rongga mulutnya. Hanya digunakan untuk mengunyah saja sudah
sukar, untuk itulah dia mengalah pada dirinya sendiri. Memakan makanan lembek
agar mudah dimakan.
Sesendok
demi sesendok makanan itu masuk ke dalam rongga mulutnya dan perlahan memenuhi
perutnya. Setidaknya, puas sudah. Makanan itu sudah mengenyangkannya. Usai
makan dia melanjutkan dengan sembahyang Maghrib kemudian dilanjutkan dengan
sembahyang Isya. Walaupun keadaan di
luar mulai ramai dengan gelak anak-anak dan senandung shalawat pertanda seluruh
isi kampung ramai-ramai merayakan satu Muharram dengan pawai obor,
tapi tak banyak hal lagi yang bisa wanita
renta itu lakukan selain tidur. Mengistirahatkan seluruh tubuhnya yang kini
sudah menua. Ringkih dan keriput.
***
Sepertiga
akhir malam, dia terbangun. Tak mau lagi ia membangunkan sang perawat. Ia tahu
betul, perawat itu mungkin lelah karena seharian merawatnya yang tua dan
ringkih. Biarlah, sisa malam ini sang perawat menikmati lelapnya.
Dengan
langkah pelan dan tongkat di tangan, sedikit terseok dia berusaha mencapai
jamban. Mengambil wudhu bermaksud kembali bersembahyang. Bersembahyang tahajud,
berdoa dan meminta pada Sang Maha Kuasa. Dalam asa dan bahagia menyambut tibanya Muharram tangannya
tengadah, dengan suara pelan dan penuh pengharapan dia meminta. Apalagi yang ia
minta dan mohonkan selain tentang keselamatan dan kebahagiaan
malaikat-malaikatnya juga tentang ampunan untuk suaminya, kekasih hatinya yang
mungkin sudah berada di nirwana. Hingga menjelang adzan Subuh, wanita tua itu
mengisinya dengan melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Matanya sudah tak awas,
sehingga selalu memerlukan kaca mata saat ingin melantunkan ayat-ayat suci-Nya.
Tenang jiwa yang ia rasakan setiap kali membaca ayat-ayat itu.
"Shadaqallahuladzim..." ucapnya seraya menutup kitab sucinya
yang mulai kusam dan lepek akibat sering ia membacanya.
Saat
fajar tiba, wanita tua itu kembali duduk di beranda dengan ditemani secangkir
teh manis panas. Lagi. Matanya menatap kemuning mentari fajar yang mulai
mencuat di ufuk timur. Hembusan nafasnya tenang, masih sama. Diteguknya teh manis
itu untuk membasahi tenggorokkannya yang sedikit kering. Masih. Hanya
malaikat-malaikatnya yang selalu ia pikirkan.
"Mira..." panggilnya pada sang perawat yang
kini duduk tak jauh darinya. Menemani wanita tua itu memandangi mentari.
"Iya
bu, ada apa?"
sahutnya.
"Ibumu
sehat?"
tanya wanita tua itu tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari menatap
kemuning sang mentari pagi.
"Alhamdulillah
sehat Bu.."
jawabnya. Wanita tua itu menghela nafas sebelum akhirnya melanjutkan bicaranya.
"Apa
ibumu juga memiliki perawat sepertimu?" tanya wanita tua itu lagi. Sang perawat menggeleng.
"Tidak
bu, ibu saya dirawat kakak saya yang juga tinggal bersama ibu saya di kampung" jawabnya. Wanita tua itu tersenyum.
Kemudian menyesap kembali teh manisnya.
"Sejak
bapak meninggal, rumah
ini sepi. Hanya ada kau dan aku yang tinggal di rumah sebesar ini. Mestinya..." wanita tua itu menggantungkan
kalimatnya. Sang perawat menatap wanita tua itu. Wajahnya sendu. Yah mungkin
dia rindu. Rindu akan suaminya yang kini sudah tak ada lagi di sana. Rindu akan
anak-anaknya yang juga tak ada di sana. Hidup di kota besar, sibuk memenuhi
kebutahan hayat anak dan istrinya.
"Apa
ibu ingin anak-anak ibu tinggal di sini?" tanya sang perawat. Mencoba membaca apa yang tersirat
di wajahnya. Wanita tua itu tersenyun sekilas. Menatap sendu pada wajah sang
perawat.
"Inginnya
seperti itu. Hanya saja mereka semua sudah berkeluarga. Mungkin aku hanya
memberatkan bagi mereka. Mestinya aku berterima kasih, mereka membiayai hidupku
dan juga menghadirkan kamu di sini untuk merawatku. Tapi, sebagai seorang ibu,
keinginan hidup menghabiskan sisa usiaku bersama anak-anakku masihlah tetap ada" ucapnya. Sang perawat tertegun.
Sadar, mungkin wanita ini merasa kesepian karena sekarang tak satupun anaknya
yang tinggal di sini bersamanya.
"Dulu,
aku merawat mereka dengan penuh kasih. Tak terhitung berapa kali aku berusaha
melindungi mereka dari bahaya dan tak terhitung pula berapa kali aku berusaha
memenuhi keinginannya. Dulu mereka masih sangat kecil, hingga tak tega rasanya
melihat mereka walau hanya meneteskan satu tetes air matapun" lanjutnya. Sang perawat masih tetap
tertegun. Mendengarkan apa yang coba wanita tua itu ucapkan. Mungkin terdengar
mengeluh, hanya saja merupakan hal yang wajar jika seorang ibu merindukan
kelembutan kasih sayang anak-anaknya.
"Apa
Ibu ingin saya menelpon anak-anak Ibu supaya berkunjung kemari akhir minggu
ini? Mungkin mereka mendapat libur
lebih karena hari ini tahun baru Islam" tanya sang perawat mencoba
mengartikan keinginan tersembunyi dari wanita tua itu. Wanita tua itu
tersenyum, kemudian menggeleng.
"Tidak.
Tidak perlu. Aku tidak ingin menyusahkan mereka hanya demi keinginanku ini.
Biarlah, mereka kini tengah mengejar cita-cita mereka untuk meraih kehidupan
yang lebih baik. Cukuplah aku menunggu sampai mereka ingin menemuiku sendiri mungkin saat Lebaran nanti. Tak perlulah kamu
ceritakan keinginanku pada mereka"
ucap wanita tua itu. Sang perawat hanya mengangguk. Walaupun sebenarnya ia tak
tega melihat wanita tua itu tersiksa karena sepi selalu merayapi di usia
senjanya.
"Yang
terpenting, karena kamu mungkin sudah paham apa yang aku rasakan Mira, maka
mulai dari sekarang sering-seringlah mengunjungi ibumu. Walaupun ia tak
memintamu menjenguknya, sejujurnya ia selalu menanti kedatangammu ke rumahnya.
Menyapanya dan memeluknya"
lanjut wanita tua itu. Memberi petuah pada sang perawat.
"Semestinya
anak-anak Ibu juga melakukan hal yang demikian bukan? Sehingga Ibu tak perlu
lagi merasa kesepin tinggal di rumah sebesar ini sendirian" ucap sang perawat. Wanita tua itu
tersenyum kembali.
"Yah,
mestinya seperti itu. Namun, aku akan mencoba mengerti dengan alasan mereka
yang jarang mengunjungiku. Sekali lagi Mira, karena kamu mungkin mengerti apa
yang tengah aku rasakan. Rawatlah ibumu dengan baik di usianya yang kini sudah
tidak lagi muda. Dan janganlah kamu mengiriminya perawat seperti yang
anak-anakku lakukan padaku. Dirawat dan dijaga oleh anak sendiri lebih baik
daripada menyuruh orang lain menjaganya. Bukannya aku tak menyukaimu, hanya
saja rasanya berbeda Mira..."
jelas wanita tua itu kembali memberi petuah pada sang perawat. Perawat itu
mengangguk, perlahan butiran bening itu jatuh dari sudut matanya. Seketika dia
ingat akan ibunya, bagaimana jika seandainya ibunya juga merasakan apa yang
wanita tua itu rasakan. Membayangkannya membuat ia merasa bersedih. Dadanya
sesak. Tak merasa menjadi anak yang berbakti atas semua yang telah ibunya
lakukan dulu untuknya.
Keduanya
terdiam dalam hening. Saling terpaku dengan kecamuk yang mereka rasakan dalam
kalbu. Mentari kini sudah sepenggalan naik. Cahayanya semakin benderang menerpa
salah satu sisi wajah wanita tua itu. Garis wajahnya sudah tak sekencang dulu.
Kuyu. Keriput. Namun, desah nafasnya tenang, selalu seperti itu. Walau sepi
selalu merayapi hatinya, tak pernah ia mengeluh bahkan sekali pun pada
anak-anaknya, malaikat-malaikatnya. Apalagi yang ia harap kini selain mengharap
bahagia menyertai anak-anaknya. Cukuplah
itu saja baginya.
Cangkir
teh manis itu sudah kosong. Dengan diiringi derit kursi tua yang didudukinya,
perlahan ia bangkit dibantu perawat juga tongkatnya. Ini waktunya kembali
mengisi perut, sang perawat dengan sabar mengiringinya masuk ke dalam rumah.
Hanya rutinitas itulah yang masih dilakukan wanita tua itu selain memandangi
mentari yang perlahan diselimuti senja pada sore hari. Persoalan merindukan
anaknya, biarlah hanya ia sendiri yang menyimpannya rapat dalam hati.
***
Selesai ***
Komentar
Posting Komentar