Dialog Senja




Oleh: Susana Widuri
Sosok kuyu, ringkih, kurus kering itu masih diam mematung di hadapanku. Aku dan dia, teguh penuh benci saling memandang kelemahan diri yang terpapar dengan sangat jelas pada mataku, pada matanya. Rasa benci selalu naik memuncak setiap aku memandangi sosok itu yang sekarang tengah berdiri di hadapanku. Aku menjambak rambutku dengan penuh amarah juga keputusasaan. Pun dia. Melakukan hal sama seperti yang aku lakukan. Aku tak paham. Setiap kali memandangi tubuh itu, setiap kali pula semua amarah dan benci itu menggerogoti jiwaku.
"Argh!"
Prang!
Sosok itu hancur berkeping-keping.  Cermin yang mereflesikan dia yang aku benci hancur berkeping-keping. Aku adalah dia yang aku benci.
Aku menyeret kakiku. Duduk di sudut ruangan tak peduli akan cairan merah yang mengalir di tanganku. Akibat karena aku baru saja menghancurkan dia yang aku benci. Aku duduk tertunduk sambil memeluk lututku. Terlalu frustasi. Entah apa lagi yang bisa aku lakukan setelah ini. Hidupku hancur. Gara-gara dia yang aku benci. Karenaku yang aku benci.
Bagi sebagian orang mungkin adalah hal kelewat tolol jika tahu apa yang menghancurkan asaku. Hal sepele yang terlalu aku lebih-lebihkan. Itu yang selalu orang lain katakan jika bertanya tentang apa yang menghancurkan hidupku. Wanita.
Dia, Gadis yang terlalu aku cintai. Sangat aku cintai. Karena satu kesalahan, aku hancurkan hidupku ini. Aku bukan orang yang miskin akan intelegensi. Aku berpendidikan, tapi apa yang buat aku jadi hancur begini? Hanya karena Gadis itu? Omong kosong! Tak seharusnya aku begini. Seperti cerita Laila Majnun dalam kisah Seribu Satu Malam, akankah aku berakhir sepertinya karena terlalu cinta pada Gadisku? Aku semakin tertunduk, mengusap wajahku berulang kali. Kemudian tertidur di sudut ruangan itu dengan tetap memeluk lututku. Setidaknya dengan tidur aku berharap merasa lebih baik. Bukan hanya raga yang lelah, agaknya jiwa pun ikut lelah dengan apa yang sudah menimpaku beberapa beberapa minggu lalu.
***
Aku terbangun pada dentang jam lima kali. Perlahan aku membuka mataku, kembali mengusap wajah. Namun bukan kelegaan yang aku dapat seperti yang aku harap. Tak hanya raga, jiwa pun lebih lelah daripada sebelumnya. Pikirku, aku sudah tak punya gairah hidup. Kakiku terasa kebas, namun ragaku sulit sekali bergerak. Lemas rasanya. Terlalu lama mengurung diri, aku pun memutuskan untuk keluar dari kamarku dan menghirup sedikit oksigen di luar.
Aku berjalan beberapa kali mengitari rumah dan halaman, berharap perasaan buruk yang sedang menimpaku segera sirna. Nihil. Tak terjadi apa-apa. Lalu aku pun meneruskan langkah kakiku keluar rumah, berjalan lunglai menyusuri trotoar jalan. Tak pedulikan pandangan beberapa orang yang menatapku aneh. Wajar mungkin, penampilanku berantakan. Tapi apa peduliku, walaupun memperbaiki penampilan perasaan buruk itu tetap ada. Bersarang dalam kalbu.
Entah berapa lama aku berjalan, kakiku terasa letih. Ragaku pun semakin lunglai. Aku terduduk di trotoar pinggir jalan pada sebuah jalan jembatan layang. Pandanganku terasa kosong walaupun kendaraan bermotor banyak berlalu lalang di hadapanku. Siluet jingga juga sudah semakin memerah di ufuk Barat, suasana yang benar-benar membuat perasaanku semakin sendu.
"Cangcimennya, Bang?” tawar seorang penjaja cangcimen yang kebetulan lewat di hadapanku. Aku memandanginya sejenak, lalu memilih tak menggubrisnya. Untuk sesaat aku melihat pemuda itu sedikit tersenyum. Tak lama kemudian, dia duduk tak jauh di sebelahku. Sedikit berdendang sambil mengipasi dirinya dengan handuk kecil yang dia sampirkan di bahunya.
"Lagi nunggu apa Bang?” tanya pemuda penjaja cangcimen itu padaku. Aku menoleh sedikit, kemudian memilih tak menjawab. Pemuda penjaja cangcimen itu kemudian terlihat kembali sedikit tersenyum.
"Lagi banyak masalah ya Bang? Dari tadi diam terus. Dipecat dari kerjaan? Apa diputusin pacar?” tanya pemuda itu. Aku kembali menoleh padanya, kemudian meneliti wajahnya yang tampak tenang itu. Terlalu ingin tahu.
"Sok tahu...” ucapku. Pemuda itu terdengar tertawa.
"Haha... Iya Bang... Maafkan saya, lagipula bukan sekali dua kali saya nemu orang seperti Abang. Duduk di trotoar sendirian sambil melamun. Ujung-ujungnya terjun ke bawah. Mati. Dikerubunin orang. Bikin repot jadinya” ucap pemuda itu sambil menunjuk dengan dagunya arah belakangku yang memang terdapat pagar pembatas, sedangkan di bawahnya terdapat jalan lain. Seolah hal itu sudah biasa baginya.
"Bunuh diri?” tanyaku sambil menoleh ke pagar pembatas di belakangku. Pemuda itu terlihat mengangguk.
"Ya... bunuh diri. Lagipula Bang, kadang saya suka gak paham sama pemikiran orang-orang itu. Gara-gara gak bisa menyelesaikan masalah, dengan mudahnya pilih terjun dari sini. Betapa mereka tidak menghargai hidup. Kalau dipikir masalah mereka itu sepele, Bang. Ada yang dipecat dari pekerjaan, ada yang cerai sama istri atau suami, yang hanya diputusin pacarnya juga kadang suka ada...” jelas pemuda itu yang sepertinya sudah hatam benar dengan kisah orang-orang yang menurut penuturannya banyak mengakhiri hidupnya di jembatan layang ini. Mendengar kalimat terakhirnya, jiwaku terasa terusik. Tersinggung. Pemuda ini terlalu menyepelekan permasalahan semua orang.
"Terkadang apa yang orang lain anggap sepele, bisa jadi serius menurut orang lain yang berbeda. Ada sesuatu yang memang tidak dapat dilepaskan atau direlakan orang dengan mudah. Mungkin orang-orang itu tidak dapat melepaskan apa yang sangat dicintainya” tuturku membalas perkataan pemuda itu yang terlalu menyepelekan masalah orang lain. Tidak seperti diriku yang tersinggung dengan perkataannya, pemuda itu terlihat tersenyum menanggapi komentarku.
"Ya... saya paham jika apa yang penting untuk semua orang itu relatif. Tapi tahukah Abang? Yang membuat saya tidak paham adalah kenapa orang-orang itu sangat sulit melepaskan apa yang memang sudah hilang dari genggamannya? Pekerjaan, wanita, lelaki, harta, atau apapun itu jika sudah hilang bisa dicari lagi, Bang. Beda dengan nyawa yang jika sudah hilang tidak bisa kembali lagi, kecuali kalau Abang memang kucing yang katanya punya sembilan nyawa. Terlebih dari itu semua, hanya karena kehilangan satu hal, lantas mengorbankan hal lain yang terkadang lebih penting, seperti hidup misalnya? Menurut pandangan saya, hidup adalah tentang penerimaan. Menerima segala sesuatu yang baik ataupun buruk yang menimpa perjalanan hidup saya. Rasanya hanya buang waktu jika saya meratapi hidup saya yang menurut orang lain kurang baik. Banyak hal yang menanti saya di depan. Jadi lebih baik saya maju dan terus melanjutkan hidup jikapun saya tersandung permasalahan yang amat besar sekalipun... Hidup saya terlalu berharga hanya untuk menyesali atau meratapi hal buruk dalam hidup saya...” ucap pemuda itu. Aku sedikit tertegun mendengarnya.
"Lantas bagaimana caranya agar semua orang berpikiran sepertimu? Seperti yang kamu katakan, yang penting bagi semua orang itu relatif bukan? Jadi pemikiranmu juga tidak semua orang menganggapnya benar...” sanggahku. Aku masih belum menerima sepenuhnya perkataan pemuda ini.
"Saya pikir kuncinya adalah ikhlas dan bersyukur. Saya pikir, orang yang terlalu lama menyesali dan meratapi sesuatu berarti tidak ikhlas dan bersyukur. Saya orang bertuhan, jadi saya percaya jika apapun yang menimpa saya adalah hal terbaik yang Tuhan berikan untuk saya. Ikhlas dan bersyukur adalah kunci saya menjalani hidup dengan tenang. Sesederhana itu...” ucap pemuda itu sambil tersenyum. Aku kembali tertegun. Apakah semua kegilaan yang jiwaku rasakan karena kepergian Gadisku adalah karena aku tidak ikhlas dan bersyukur seperti yang dikatakan pemuda itu? Untuk beberapa lama aku tenggelam dalam pikiranku. Sibuk mencari alasan tentang semua perasaan buruk yang aku rasakan. Tiba-tiba saja pemuda itu menepuk bahuku.
"Maafkan saya jika terlalu banyak berbicara, Bang. Hanya saja saya rasa Abang sedang punya masalah, saya pikir berbagi apa yang saya imani pada Abang mungkin dapat membantu. Maafkan saya jika memang menyinggung perasaan Abang, walaupun saya tidak tahu apa masalah Abang tapi mudah-mudahan Abang dapat mencoba ikhlas dan bersyukur dengan hidup Abang sekarang ini. Jangan berakhir seperti mereka yang menukar hidupnya dengan keputusasaan...” ucap pemuda itu sambil tersenyum. Kemudian berdiri dan berpamitan kepadaku. Dengan tenang dia melenggang sambil berdendang sebuah tembang, meninggalkan aku seorang diri yang masih terpaku di trotoar itu. Aku menarik nafas dalam, kemudian berdiri dan berjalan ke arah pagar pembatas jembatan itu. Desiran angin senja membawa batinku menjadi sedikit tenang. Mungkin pemuda itu benar, segala kegilaan yang menimpaku adalah hanya karena aku tidak merasa ikhlas dan bersyukur karena kehilangan Gadisku. Aku tidak harus menukar hidupku dengan keputusasaan yang mendalam seperti yang dikatakan pemuda itu. Di masa depan, aku akan menemukan Gadisku yang lain. Mungkin.
*** Selesai ***










Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PPDB SMP Darul Fatwa

Senja