Dari Ratu Belanda sampai Joko Widodo
Oleh: Susana Widuri
Teng... Teng...
Suara dentuman Big Ben yang
berbunyi sepuluh kali baru saja membuat burung-burung merpati yang sedang asyik
mengais makanannya kabur tunggang langgang karena bunyi dentuman itu.
Seolah-olah mereka baru saja terusir dari peraduannya. Sekarang pukul sepuluh
pagi GMT, sambil menyesap secangkir Mochalatte hangat di sebuah coffeshop
tak jauh dari tempat Big Bang berada, aku duduk termangu mengamati bulu-bulu
kelabu yang semakin terbang menjauh di balik kaca bening coffeshop itu.
Beberapa menit kemudian, aku lihat beberapa dari mereka kembali ke tempat
semula setelah Big Bang berhenti membunyikan dentumannya.
Untuk sejenak aku terhanyut menatap
keramaian Sabtu pagi pada salah satu jalanan di pinggiran Kota London.
Daun-daun pohon maple yang mulai menguning perlahan berguguran jatuh
setelah terhembus angin Oktober yang sedikit dingin, menapaki jalanan kota
London dan menjadikannya lebih ramai dengan dedaunan itu selain dengan
orang-orang yang berlalu lalang di sana. Aku pikir mungkin orang-orang itu
terlalu sibuk dengan urusan yang menurut mereka lebih penting dibandingkan
memperhatikan bulu-bulu kelabu yang terbang menjauh, juga dedaunan kuning pohon
maple yang jatuh menghujani mereka seperti yang aku lakukan saat ini
atau hanya sekedar bertegur sapa satu sama lain ketika mereka bertemu dengan
spesies yang sama dengan mereka. Manusia lainnya. Aku tersenyum sekilas ketika
menyadari hal itu. Sudah menjadi rahasia umum bukan? Begitulah perangai orang
Inggris.
Puas mengamati jalanan Sabtu pagi di
pinggiran Kota London, akupun akhirnya mengalihkan pandanganku kepada laptop
yang berada di hadapanku yang penuh dengan sticky notes pada halaman desktopnya
sebagai pengingat akan semua tugas-tugas kuliahku sebagai mahasiswi strata dua
di London University. Sekarang hari Sabtu, jadi untuk beberapa jam saja aku
akan mengabaikan belasan sticky notes itu untuk merefreshkan otakku.
Ku arahkan kursor mouse laptopku
untuk membuka sebuah folder yang aku anggap keramat. Aku klik satu persatu
foto-foto kenanganku saat aku masih menjadi mahasiswi salah satu universitas
negeri di Bandung. Aku tersenyum saat memandangi foto-foto itu. Sekarang, dalam
sekejap saja ingatanku terlempar kembali ke masa itu.
***
Aku pergi dengan terburu-buru menuju
kampus. Sekali dua bahkan aku tersandung kakiku sendiri. Aku Kirana Setya,
mahasiswi tingkat dua jurusan pendidikan Fisika. Beginilah hidupku, hampir
setiap pagi selalu pergi terburu-buru menuju kampus. Bukan karena terlambat
mata kuliah dosen paling angker sejagat, hanya saja aku begini dengan alasan
untuk menyambung hidup. Setiap pagi, rutininasku adalah menjual beberapa
makanan ringan dengan cara menitipkannya di kantin sekolah. Malu? Awalnya ya,
tapi mau bagaimana lagi? Ini hidupku, aku tak peduli orang beranggapan miring
apa tentangku. Toh semua pembicaraan mereka tentangku sama sekali tak akan
membantu menyambung hidupku.
Kuliah dan sebutan mahasiswi
merupakan dua kata mewah untukku. Berasal dari keluarga di bawah standar
rata-rata hidup tentu merupakan suatu keajaiban aku dapat masuk ke kampusku
melalui jalur SNMPTN. Berbekal modal nekat dan asa yang besar, aku berjuang
mempertahankan apa yang mungkin awalnya mustahil untuk dipikirkan. Diterima
menjadi salah satu mahasiswi di perguruan tinggi nyatanya bukanlah warta yang
baik untuk keluargaku. Bahkan, sejujurnya mereka tak mengizinkanku untuk pergi
menimba ilmu di kampusku ini. Aku tahu, bukan karena mereka tak mau aku jadi
sarjana dan membanggakan keluarga serta mendapat pekerjaan yang mungkin lebih
layak daripada pekerjaan untuk lulusan SMA, semata-mata hanya karena uang. Uang
menjadi kekhawatiran terbesar dalam keluargaku, jangankan biaya kuliahku, untuk
kebutuhan hidup keluargaku sehari-harinya belum menentu. Tapi, dengan beberapa
kali usahaku untuk meyakinkan keluargaku, akhirnya aku diizinkan untuk mencoba
meraih asaku. Keraguan tentu tak luput dari benakku saat memutuskan untuk
menimba ilmu, berbekal salah satu firman Allah SWT tentang Allah tidak akan
merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu yang merubahnya. Dengan itulah,
sekali lagi aku mencoba meyakinkan hatiku. Aku sadar, jika aku tak bergerak dan
hanya berjalan di tempatku kecil kemungkinan hidupku akan berubah.
Sudah dua tahun aku menetap di
Bandung, sudah dua tahun pula aku mencoba segala cara untuk tetap bisa
menyambung hidupku. Jika pagi hari aku berjualan makanan ringan dengan cara
dititipkan di kantin kampus, maka sore hari hingga malam yang aku lakukan
adalah bekerja part time di restoran cepat saji yang jaraknya tak jauh
dari tempat kostku. Selain itu, setiap seminggu sekali aku mengajar les
privat di hunian seorang anak kelas dua SMP di perumahan dekat kampusku. Pada
saat yang bersamaan aku baru menyadari seperti inilah rasanya hidup. Namun yang
selalu aku percayai adalah Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hambaNya.
***
Sekarang hari Jumat, aku baru saja
menginjakkan kaki di kamar kostku. Jam yang bertengger di salah satu
sudut kamarku menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Aku merebahkan
tubuhku di atas tempat tidurku. Pandanganku menerawang ke atas langit-langit
ruangan berukuran tiga kali empat meter itu. Warnanya sudah kusam, maklum ini
adalah salah satu kostan termurah di sekitar kampusku. Hari ini tubuhku
terasa benar-benar lelah dan berat, pikiranku penat, rasanya ingin menangis
saja jika memikirkan apa saja yang sudah menimpaku belakangan ini. Setelah
seminggu lalu aku gagal mendapat salah
satu beasiswa di kampus karena satu dan banyak lain hal yang aku sendiri tak
paham, baru dua hari lalu aku mendapat kabar ibuku sedang sakit. Namun di saat
yang bersamaan aku sama sekali tak ada uang untuk pulang ke kampung halamanku.
Memikirkannya saja membuat aku begitu frustasi dan putus asa. Untuk beberapa
saat, sekarang aku benar-benar berharap waktu berhenti. Untuk beberapa menit
saja aku ingin bisa bernafas dengan tenang tanpa memikirkan hal-hal yang
membuatku terasa penat. Aku menghela nafas panjang berkali-kali berharap semua
beban itu hilang bersama hembusan nafas yang aku buang.
Tok... tok...
Seseorang baru saja mengetuk pintu
kamar kostku. Aku terdiam sesaat, mencoba kembali menata perasaanku
sebelum akhirnya membukakan pintu.
"Ki... boleh aku masuk?", tanya Zalfa. Salah satu kawan
dekatku yang juga satu kampung halaman denganku. Aku menatapnya sejenak lalu
mengangguk sambil memberikan dia jalan untuk masuk. Kami berdua kemudian duduk
berhadapan. Zalfa menatapku cukup lama sebelum akhirnya bicara.
"Kamu baik-baik saja?" , tanyanya. Aku mengangguk lalu
sedikit tersenyum.
"Aku dengar ibumu sakit, kamu gak pulang?", tanyanya
lagi. Seketika perasaan penat dan sesak itu kembali menguar dalam benakku.
Sekarang bahkan untuk berkata saja rasanya sulit, tenggorokkanku seketika
tercekat. Dan pada akhirnya aku menangis. Zalfa kemudian merangkulku sambil
mengelus-elus punggungku.
"Maaf", ucapnya seolah menyadari pertanyaannya tadi
membuat hatiku kembali merasa buruk. Aku tak menjawab, bukan tak ingin hanya
saja memang terasa sulit hanya untuk sekedar berucap.
"Ki, besok aku mau pulang. Aku tahu kamu gak ada uang untuk
pulang. Jika seandainya kamu gak keberatan dan gak merasa tersinggung aku ingin
kamu ikut pulang bersamaku. Soal ongkos, biar aku yang bayar. Ibumu sakit, jadi
kamu harus pulang. Aku gak mau kamu merasakan duka dan penyesalan seperti yang
aku rasakan dulu", ucap Zalfa. Memang setahun lalu ibunya juga sakit dan
meninggal dunia sebelum Zalfa sempat menjenguknya. Alasannya hanya karena
jadwal kuliah yang begitu padat. Sampai saat ini aku rasa Zalfa masih menyesali
hal itu. Aku melepaskan rangkulannya dariku kemudian menghapus sisa-sisa air
mata di sudut mataku.
"Terima kasih", ucapku. Zalfa mengangguk dan tersenyum
kemudian kembali memelukku.
***
Esoknya, aku dan Zalfa berangkat
pagi-pagi menuju kampung halaman kami. Dari tampat kost aku dan Zalfa
berjalan sekitar 15 menit hingga sampai jalan raya. Dari sana kami menaiki
mobil angkutan kota menuju ke terminal. Sepanjang jalan, aku hanya
memperhatikan jalanan yang dipenuhi berbagai macam kendaraan. Pandanganku
terpaku pada dua orang pelajar berseragam putih abu yang sedang menaiki sepeda
motor. Bukan pemandangan yang aneh di kota seperti ini melihat banyak pelajar
yang berboncengan dengan mesra dan sebagainya. Melihatnya aku jadi teringat
masa sekolahku dulu, agaknya pergaulanku tak seperti ini. Sesuatu yang aku
anggap parah. Dalam teori kependidikan, tugas guru bukan hanya mengajar
melainkan juga mendidik moral anak didiknya. Tapi yang aku lihat sekarang
semuanya jauh dari idealisme kependidikan itu sendiri.
Aku jadi teringat akan perjalan
panjang pendidikan di tanah air. Sejak politik etis yang dicanangkan Ratu
Belanda saat zaman pra kemerdekaan dulu dunia pendidikan tanah air sudah banyak
mengalami perubahan dari yang mulanya pendidikan hanya untuk orang-orang elit, dilanjutkan
dengan penerapan P4 pada zaman orde baru yang mendidik bukan hanya dari segi
intelektualitas namun juga moral walaupun dengan jalan yang ekstrim, serta
zaman reformasi yang penuh dengan kebebasan berpendapat. Dunia pendidikan
dengan dinamikanya kini menjadi semakin pesat dengan diiringi kemajuan
teknologi yang pesat pula. Tentunya hal tersebut menjadi sebuah keuntungan di
samping berbagai kebijakan pemerintah yang dengan segala upaya mencoba
memudahkan pendidikan bagi tunasnya. Namun di balik segala kemudahan, aku sadar
betul bahwa ada hal yang lebih serius dan membahayakan daripada semua
keuntungan itu. Dengan kemajuan dunia yang semakin pesat pada kenyataannya
moral anak didik justru lambat laun semakin terkikis. Seperti menerima sebuah
tamparan telak. Hari ini aku sadar tugasku di kemudian hari bukan hanya
mengajarkan materi-materi pelajaran kepada anak didik, tapi juga menanamkan
moral dalam benak mereka.
Sejak saat itu aku mulai lebih
serius dalam studiku. Kali ini bukan hanya untuk merubah hidupku namun juga
merubah kehidupan orang lain yang akan menjadi anak didikku kelak. Allah tidak
akan menyia-nyiakan usaha hambaNya. Dua tahun setelah itu akhirnya Allah
memberiku kesempatan lain yang jauh lebih baik. Allah telah menjadikan Kirana
Setya sebagai mahasiswi strata dua penerima beasiswa di London University.
***
Teng... teng...
Big Ben kembali berbunyi dua belas
kali. Untuk yang kesekian kalinya membuat makhluk-makhluk berbulu kelabu itu
terbang tunggang langgang karena dentuman suara itu. Cangkir Mochalatteku
sudah kosong. Begitupun dengan slide-slide foto dalam folder keramatku yang
sudah mencapai penghujung. Aku rasa sekarang sudah saatnya aku kembali ke
duniaku. Menjalani rutinitasku dan
memenuhi janjiku bukan hanya merubah hidupku melainkan juga orang lain
di sekitarku.
*Selesai*
Komentar
Posting Komentar