Monolog tentang Konsep Keyakinan



Berbicara apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia tentu tidak akan ada habisnya. Semua eksistensi, persepsi, dan konklusi tiba-tiba akan menjadi batas yang sangat tidak jelas jika sudah menyangkut pada persfektif otak manusia. Namun, semua manusia tahu atau setidaknya sebagian besar meyakini bahwa satu-satunya pilar yang menjadi sumber rujukan tentang benar atau salah, boleh atau tidak boleh tentang segala sesuatu yang menyangkut kehidupannya ditentukan oleh sesuatu yang mereka sebut dengan agama. Setidaknya, konsepsi manusia tentang adanya Tuhan dan segala hukum yang berkaitan dengannya akan membatasi pola tingkah manusia dalam berbuat sesuatu. Semua agama, religi, keyakinan, atau apapun yang bersinonim dengannya pada umumnya mengajarkan sesuatu yang baik, yang pada gilirannya disebut etika dalam berkehidupan. Pun dalam hal beragama terkadang manusia terlalu memegang teguh egonya bahwa keyakinannyalah yang paling benar di antara keyakinan-keyakinan orang lain. Mereka berpikir seperti itu, dan sudah seharusnya mereka juga berpikir bahwa manusia lainnya berpikir sama halnya dengan diri mereka. Ah... jika memang semua berpikiran demikian, tentu saja mungkin dunia akan sedikit lebih berdamai dengan konflik yang mengatasnamakan kebenaran akan ajaran Tuhannya masing-masing. Namun kembali lagi pada konsepsi hukum alam yang selalu menginginkan adanya persaingan untuk mempertahankan eksistensinya di dunia ini, baik itu fisik, pikiran, atau keyakinan agaknya hal untuk berdamai dengan dunia sedikit di luar akal.
Kembali pada konsep boleh dan tidak boleh apa yang dilakukan manusia, meski mereka tahu boleh dan tidak boleh sesuatu terjadi berdasarkan apa yang disirat dan disurat dalam agamanya bagi sebagian besar mereka hanya tahu tanpa mau benar-benar melakukannya. Sepertinya konsep Tuhan dan segala hukumnya hanyalah sebagai hiasan pemikiran yang terdapat dalam otaknya bahwa mereka pernah mempercayai adanya suatu konsep tentang Tuhan, sebab jika mereka benar-benar meyakini bahwa itulah yang benar apa yang dikatakan dan dihukumkan Tuhan sudah tentu semua manusia akan hidup sebagai sufi, pendeta, rahib, biksu, dan segala sebutan orang suci lainnya.
Nyatanya (setidaknya menurut pikiranku), manusia lebih menomorsatukan apa yang disebut dalam ilmu psikologi sebagai ego. Nampaknya kehadiran super ego tidak terlalu diperhatikannya lagi. Sebagai contoh apa yang dekat dan baru terjadi baru-baru ini di lingkungan sekitar kediaman lagi-lagi sesuatu yang disebabkan karena iri hati, dengki, dendam, dan segala emosi negatif lainnya. Bukan bermaksud menilai diri adalah yang paling benar daripada mereka yang mengesampingkan akal sehatnya, namun jelas akibat seseorang yang tidak bisa mengendalikan egonya yang ingin menjadi lebih dari orang lain disebabkan emosi negatif itu menyebabkan suatu bencana psikis dan moral bagi orang itu. Menginginkan orang lain menderita hanya karena ingin memuaskan emosi negatif sudah tentu dia adalah orang yang sakit secara moral dan psikis. Kembali pada konsep Tuhan, setidaknya jika ia benar-benar meyakininya tentu dia sadar akan konsekuensi dari perbuatannya. Dalam agama sesuatu yang disebut sebagai pembalasan dan karma akan selalu ada. Pun dalam hukum alam sesuatu seperti sebab dan akibat juga akan berlaku. Andai saja jika manusia lebih memikirkan itu, lagi-lagi mungkin manusia akan sedikit berdamai dengan konflik dunia yang memusingkan.
Ada banyak hal yang menjadi pemikiran pribadi, khususnya tentang perusakan moral secara perlahan-lahan. Jika dipikirkan lebih mendalam, sulit sekali mencari apa yang menyebabkan terjadinya kerusakan moral pada manusia. Jika berbicara sesuatu yang berkaitan dengan metafisika seperti ilmu santet, teluh, dan sebagainya yang baru-baru ini terjadi di lingkungan, tentu akan mudah mengatakan bahwa yang menyebabkan suatu perusakan moral hingga seorang manusia sampai melakukan hal itu adalah tipisnya kepercayaan dirinya akan konsepsi Tuhan. Namun ternyata lebih dari itu, sesuatu yang membuatnya rusak hingga sedemikian rupa tentu apa yang membentuk dirinya dari kecil hingga dewasa. Lingkungan? Mungkin. Doktrin? Mungkin. Segala sesuatu tampaknya berpotensi akan perusakan moral secara perlahan. Yah menurut pemikiran pribadi yang mungkin sedikit terlihat sarkasme, manusia yang melakukan praktek perdukunan sudah barang tentu adalah “Orang Bodoh yang Tidak Ingat Kematian”.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PPDB SMP Darul Fatwa

Senja

Dialog Senja